Saturday, February 12, 2011

When Love Actually is You; Maggie's PoV part 2


Sejak saat itu aku tidak pernah dekat dengan seorang cowok—sampai sekarang. Aku bertemu Mike dan ia laki-laki pertama yang berani membawaku pergi keluar. Bukan hal besar, memang. Tetapi apa yang ia lakukan untukku berarti besar bagiku. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku terhadapnya sekarang, aku hanya tahu ia ingin menjadi temanku. Kurasa menerima tawarannya bukan hal buruk. Malahan Sandra sangat mendukungku bergaul dengannya. Jadi begitulah. Ia mengunjungiku hampir setiap hari.
Terakhir kali ia ke sini, ia memberitahuku kalau ia sudah pindah ke apartemennya, dan mulai mencari pekerjaan di perusahaan mobil.
          “Aku sudah mengirimkan CV ke beberapa perusahaan, aku harap salah satunya bisa diterima,” katanya sambil melepaskan dasinya.
          “Kalau kau punya kemampuan, aku rasa mereka akan memanggilmu untuk wawancara.” Aku duduk di tempat tidur sambil memainkan Play Station Portable-ku.
          “Memang, tetapi zaman sekarang untuk bisa masuk ke perusahaan besar cukup sulit,” ucapnya, lalu duduk di samping tempat tidur.
          “Apa sih yang kau mainkan?” tanyanya, mendekatkan wajahnya ke arahku.
          Full Metal Battlelines,” gumamku.
          “Coba lihat.” Mike pun semakin mendekatkan diri ke tubuhku. Aku yang merasa terganggu pun segera ambil tindakan.
          “Aduh, kau ini—“
Saat menoleh, wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku, hembusan napasnya menerpaku. Kami saling pandang, dan aku merasa sangat aneh saat ia melihat ke arahku—ke bibirku.
Dengan cepat aku melompat dari tempat tidur.
          “A—aku harus memanggil Sandra untuk pemeriksaan—“ Aku cepat-cepat keluar dari kamar setelah mengambil sepatu bot.
Aku mengatur napas, bisa kurasakan jantungku berdegup tak karuan. Apa karena kejadian tadi? Entahlah.
Mike begitu dekat dan membuatku sangat gugup.
Aku berjalan pelan, lalu tak sengaja menabrak seseorang.
          “Oh maaf—“
Tangan besar dan kuat menggapai lenganku, menyelamatkan aku saat akan jatuh karena tubrukan tadi. Aku mendongak dan mendapati cowok tampan dengan perawakan tinggi di depanku memandangku khawatir. Mungkin ia takut aku akan terpental karena tubuhku yang kecil tertubruk olehnya.
          “Ehm—trims,” kataku.
Cowok itu menyibak poninya ke belakang telinganya. Rambutnya yang cokelat keemasan itu tertimpa sinar matahari.
          “Kau benar tak ingin aku mengganti sesuatu? Mungkin aku harus mendaftarkanmu ke sini—“
          “Hey, Tuan? Aku pasien di sini,” selaku cepat sebelum ia meracau lebih jauh.
Ia memandangku terkejut sementara aku merapikan bajuku.
Aku berjalan melewati cowok itu, ia meraih tanganku.
          “Maaf, aku tak bermaksud menyinggungmu,” ucapnya menyesal.
Aku tersenyum kecil. “Tidak apa-apa.”
          “Sebagai gantinya, izinkan aku menemanimu. Kau mau ke mana?” tanya cowok yang mengenakan kaus All Time Low itu.
          “Tidak usah, aku bisa sendiri.”
          Please, aku memaksa.” Ia tersenyum padaku. Kuakui, saat ia tersenyum ia sangat manis.
          “Mencari susterku,” kataku, lalu kami berjalan bersama.
          “Kau sudah lama dirawat di sini?” tanya cowok itu.
          “Aku tinggal di sini.”
Ia membelalak. “Benarkah?”
Aku mengangguk.
          “Kau sakit parah?”
Aku menghela napas panjang. Semua orang pasti akan bertanya begitu jika aku beritahu kalau aku tinggal di sini.
          “Anggap saja begitu.”
Kamarku tak begitu jauh dari meja resepsionis, beberapa suster ada di sana. Aku berkata pada mereka untuk memberitahu Sandra bahwa aku sudah siap untuk pemeriksaan.
          “Kau tahu,” Cowok itu masih mengikutiku, bahkan saat aku akan kembali ke kamarku. “Kalau kau berpikir sakit, maka kau akan benar-benar sakit.”
Aku mendengus.
          “Jadi?”
          “Jadi, kau jangan memikirkan sakitmu itu. Bagaimana kalau kau jalan denganku? Gadis cantik sepertimu, tidak cocok berada di rumah sakit terus.”
Aku tertawa pelan. Cowok ini berusaha menggodaku? Yang benar saja.
          “Mengapa? Aku bahkan tak mengenalmu,” kataku sinis.
          “Oh maaf—“ Ia merapikan kausnya. “Aku Jason Lynn.”
          “Kau pikir setelah aku tahu namamu, lalu aku akan berkencan denganmu? Dengar ya, Sir. Aku lebih baik tinggal di sini daripada keluar denganmu. Dan ya, aku memang sakit dan satu-satunya yang membuatku hidup adalah obat. Sudah tahu kenyataannya? Silakan pergi.”
Aku berpaling melewatinya. Cowok seperti itu hanya akan membuatku susah. Ia bukan tipe cowok yang suka gadis sakit-sakitan seperti aku. AKu hanya akan dijadikan mainan olehnya lalu dibuang begitu saja. Jadi sebaiknya aku tak berurusan dengannya. Lagipula kenapa dia bisa ada di sini sih?
          “Tunggu.” Cowok itu—Jason meraih lenganku. “Kau ini sarkastis sekali. Kau seperti ibu-ibu galak daripada seorang pasien.”
          “Oh ya? Kalau begitu baguslah. Jadi jangan ganggu aku lagi,” kataku sarkastis, lalu berusaha melepaskan lenganku dari genggamannya.
          “TIdak sampai kau memberitahu namamu.”

Saturday, December 25, 2010

When Love Actually is You; Maggie's PoV part 1


CERITA MAGGIE
            Sejak Mike mengajakku pergi, ia menjadi sering sekali datang mengunjungiku. Entah angin apa yang selalu membawanya kemari. Bukan berarti aku tak suka padanya, hanya saja aku tak pernah mendapat perhatian seperti ini dari orang lain—kecuali orang-orang rumah sakit, tentu saja. Dan yang lebih membuatku merasa aneh adalah, Mike sering sekali menatapku. Seolah-olah aku ini sesuatu yang harus dijaga.
Aku sangat mengenal tatapan seperti itu.
Sama seperti saat Nathan menjadi perawatku. Ia selalu memperhatikan aku dengan tatapan menjaga, yang membuatku gugup. Mungkin bisa dibilang Nathan adalah cinta pertamaku. Dia laki-laki pertama yang kukenal, yang melakukan kontak langsung dengan kulitku pertama kalinya. Laki-laki pertama yang menjaga, melindungi, dan menyayangiku apa adanya. Jangan salah, Nathan sangat tampan. Bahkan para pelayan wanita di rumah sangat memujanya.
Sebagai perawat, Nathan sangat tampan dan cekatan. Tubuhnya tinggi dan besar—bisa kurasakan otot-otot tubuhnya saat ia menggendongku karena sakit dan hamper pingsan. Ia selalu mengurusiku, mulai dari minum obat sampai aku pergi tidur. Dan biasanya sebelum keluar kamar, Nathan akan mengucapkan selamat malam sambil mengelus kepalaku. Aku suka saat ia melakukannya. Saat itu kupikir ia akan terus bersamaku.
Semua berubah ketika ia datang dan mengatakan kalau dia akan menikah. Ia muncul di hadapan Dad, Mom, juga aku ketika ia bilang ingin berhenti untuk menikah. Aku yang tak percaya bahwa ia akan meninggalkan aku, lari ke kamar dan tak ingin melihatnya lagi. Aku begitu marah, sampai-sampai saat ia akan berpamitan padaku, aku tidak mau bertemu dengannya. Mom yang mengatakan padaku bahwa aku tak boleh menyalahkan dia. Nathan seorang pria dewasa, ia menginginkan sebuah keluarga miliknya sendiri.
Namun aku justru menangis dan berkata bahwa aku menyayanginya dan ingin bersamanya.
Mom memelukku dan berkata dengan sangat dewasa.
            “Aku tahu itu, Sayang. Ia juga sangat sayang padamu, yakinlah itu. Meskipun ia menikah, bukan berarti ia tidak sayang padamu. Kau akan belajar mencintai seseorang ketika waktunya tepat. Nathan tidak akan lupa begitu saja mengenai semua kebaikanmu. Jadi kau harus kuat. Antarkan dia pergi dengan senyuman. Beritahu dia bahwa kau akan baik-baik saja. Dengan begitu, ia tidak akan pergi dengan penyesalan.”
Jadi itulah yang kulakukan.
Sebelum pergi, Nathan memelukku lembut. Saat itulah aku bisa tahu apa yang Mom bilang memang benar. Dalam pelukannya, kurasakan rasa sayangnya yang ia tumpahkan terakhir kali padaku, sebelum pergi jauh selamanya. Setelah itu aku bisa melepas kepergiannya. Begitulah cerita cinta pertamaku.